sutvartikel.com || JAKARTA, – Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah IV yang mewakili Sekjen dan Dirjen Bina Pembangunan Daerah menghadiri Rapat Koordinasi Pembahasan Penyusunan Peraturan Pelaksanaan UU TPKS, Senin, 6 Juni 2022, di ruang rapat R.A Kartini lantai 11, KemenPPPA.
Dengan ditetapkannya UU nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau yang dikenal dengan UU TPKS, maka dibutuhkan satu langkah strategis lagi agar UU tersebut berlaku efektif, yakni membuat aturan pelaksanannya.
Aturan pelaksanaan tersebut diamanatkan oleh UU TPKS dalam sejumlah pasalnya. Untuk itu, dilaksanakanlah Rapat Koordinasi Pembahasan Penyusunan Peraturan Pelaksana UU TPKS atas inisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di kantor KPPPA pada hari Senin 6 Juni 2022.
Rakor dibuka oleh Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu, dihadiri oleh perwakilan dari berbagai Kementerian/Lembaga. Kemendagri diwakili Ditjen Bina Bangda dan Ditjen Otda. Hadir juga perwakilan dari Kemenkum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kominfo, Kemenkes, Kemensos, KemenPAN RB, Kemenko PMK, Kemen PPPA, Kepolisian RI, Kejaksaan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Deputi PHP KPPPA memimpin rakor sekaligus menyampaikan pentingnya memastikan terbitnya peraturan pelaksanaan UU TPKS dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) sesuai dengan amanat UU TPKS tersebut. Semua K/L terkait memiliki tugas yang sama untuk bahu-membahu menyelesaikan PP dan Perpres dimaksud dimulai dari awal rakor tersebut dibuka.
PP dan Perpres sederhana yang mengusung semangat anti kekerasan seksual sebagai amanat UU TPKS mesti diproses hati-hati. Melalui rakor tersebut disepakati dengan cara mengidentifikasi terlebih dahulu semua regulasi termasuk peraturan dari K/L pemrakarsa. Sementara itu hasil identifikasi Ditjen perancangan peraturan perundang-undangan Kemenkum HAM menemukan sebanyak 5 PP dan Perpres yang harus dibuat sebagai pelaksana UU TPKS.
Identifikasi dinilai penting oleh Plt Dirjen PUU Kemenkumham, Dahana, mengingat peraturan pelaksana tidak boleh tumpeng tindih. Kemudian disepakati dari 5 PP dan 5 Perpres tersebut disimplifikasi menjadi 3 PP dan 4 Perpres dengan perkiraan selesai dalam jangka waktu 6 bulan. Secara teknis, pembahasan dilakukan melalui sejumlah Focuss Group Discussion (FGD) oleh Tim Kecil yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dibawah pengawasan DPR RI.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kemenko PMK Femmy Eka Kartika Putri mengusulkan penyusunan aturan pelaksana berupa PP dan Perpres untuk dipercepat agar segera dapat diimplementasikan di daerah. Oleh sebab itu FGD yang akan dilaksanakan nantinya selain dibahas bersama K/L terkait juga perlu melibatkan daerah.
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Direktur SUPD IV Ditjen Bina Bangda Kemendagri Zanariah. Menurutnya Kemendagri siap mendukung peraturan pelaksana sesuai dengan kewenangan pelaksanaan urusan baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. “Untuk itu mesti dipastikan bahwa UU TPKS dan rencana pengaturan dalam peraturan pelaksanaan disosialisasikan dan dikonsultasikan kepada daerah,” ujarnya.
Disini, katanya, dibutuhkan peran UPTD Perlindungan Anak bagi daerah yang telah membentuk sebagai wujud komitmen daerah dalam mencegah kekerasan seksual.
Pernyataan dukungan dan kesiapan mengawal sesuai penugasan yang diberikan pada bidangnya masing-masing juga disampaikan oleh perwakilan sejumlah K/L sebagaimana disampaikan Livia LPSK, Arif Kepala Biro Hukum Kemen Keuangan dan Vera KeMenPAN RB. Kartini dari Kemenkes, mendukung LPSK menerapkan daerah percontohan agar dapat memantau sejauhmana komitmen daerah melalui aktivitas dan alokasi anggaran UPTD.
Hal tersebut diamini oleh Kemensos dengan penegasan untuk tidak lupa memperhatikan aspek pencegahan, bukan hanya penanganan tindakan.
Adapun catatan dari Kejaksaan Agung terkait peraturan pelaksana adalah : a)mengikuti azas kejelasan, sehingga tidak multitafsir, b)mengatur detail terkait penindakan dengan pembuktian di persidangan sesuai peran Kejaksaan Agung, c) pengaturan Restitusi yang dikoordinatori oleh KPPPA sebagai leading sektor didukung oleh LPSK dengan melibatkan penegak hukum dalam proses peradilan terkait Pasal 35.
Sementara itu Kominfo menekankan pentingnya kolaborasi peran dalam penyusunan peraturan pelaksana agar TPKS dapat diatasi dengan cepat. Terkait sosialisasi,
Kemenkopolhukam dan Polri mendukung penuh seraya berharap untuk melengkapinya dengan simulasi penangangan TPKS.
Rakor pembahasan awal ini diakhiri dengan satu persepsi untuk mengakselerasi Penyusunan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sesuai amanat UU TPKS. Namun berbeda dengan K/ L yang “hanya” diminta untuk mensosialisasikan di internal K/Lnya,
Kementerian KPPPA wajib mensosialisasikan UU TPKS berikut rencana penyusunan peraturan pelaksanaannya kepada daerah. Langkah ini dinilai urgen demi menghindari penafsiran bahwa sebuah UU dinilai belum dapat diberlakukan jika peraturan pelaksanaannya belum dibuat. (Ar)