sutvartikel.com || Jakarta, – Penyebab kenaikan harga minyak goreng (migor) mulai terkuak setelah Kejaksaan Agung Republik Indonesia melakukan penetapan tersangka kepada Dirjen Daglu IWW dan sejumlah
pejabat di korporasi industri minyak sawit. Kinerja Kejagung RI layak diacungi dua jempol karena
berhasil membongkar patgulipat kisruh migor. Tanpa ketegasan dari Kejagug RI dalam menindak
tegas para stakeholder CPO, maka persoalan ini tidak akan terkuak mendalam.
Di sisi lain, kinerja Presiden Jokowi luarbiasa dalam menangani kisruh minyak goreng. Presiden dengan cepat dan tanggap merespon jeritan suara rakyat karena mahalnya harga migor. Namun itu semua belum tuntas dan perlu segera ditindaklanjuti secara mendalam sampai ke akar-akarnya.
Presiden Jokowi dalam kampanyenya bertekad untuk mewujudkan kedaulatan energi khususnya
di sektor industry dengan cara membanjiri industri dengan biodiesel B30 yang diintegrasikan
dengan BBM solar. Dengan begitu maka Indonesia dapat mengurangi ketergantungan BBM yang
saat ini impor BBM dengan biodiesel.
Program biodiesel ini kemudian diamanahkan kepada Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto untuk diwujudkan menuju kedaulatan energi. Airlangga kemudian membentuk BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) pada 2015.
BPDPKS ini memungut dana dari nilai ekspor CPO yang ditujukan untuk melakukan Penanaman Sawit Rakyat (PSR) atau penanaman kembali sawit yang sudah tua dan dikucurkan kepada petani sawit rakyat. Selain itu dana dari BPDPKS ini juga dikucurkan untuk pelaksanaan biodiesel di sektor industry dan kebutuhan energi untuk mengurangi ketergantungan impor BBM dengan energi alternatif dari bahan bakar nabati.
Namun masalah kemudian muncul ketika penyaluran dana BPDPKS ini ternyata lebih didominasi
untuk penggunaan substitusi biodiesel oleh pelaku usaha industry minyak sawit (CPO) dan turunannya. Bahkan sekitar 80 persen dana BPDPKS ini ditujukan dengan menyawer ke sejumlah perusahaan/konglomerasi yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian saat itu Airlangga Hartarto untuk memroduksi biodiesel.
Sejak 2015-2021 terkumpul dana oleh BPDPKS sebesar Rp139,7 triliun. Awalnya dana ini
digunakan untuk membantu pendanaan di sejumlah kementerian. Namun sejak 2016, dengan dalih percepatan program biodiesel sebagai program strategis nasional, Airlangga menguasai dana BPDPKS itu hanya untuk menyubsidi sejumlah korporasi industry minyak sawit nasional.
Sebagian kecil petinggi korporasi itu kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dari perbuatan
melawan hukum yang berdampak pada kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng. Sementara sejumlah korporasi lainnya hingga kini belum dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung meskipun sudah menerima sejumlah dana subsidi biodiesel triliunan rupiah.
Lantas dimana letak kaitan antara BPDPKS, subsidi biodiesel yang diselewengkan oleh Menteri
Airlangga Hartarto dengan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng di tanah air?
Kenaikan harga minyak sawit di pasar luar negeri dan sejumlah kontrak penjualan minyak sawit dan turunannya menjadi salah satu faktor penyebab kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Korporasi minyak sawit jelas lebih dominan mengeruk profit dengan mengekspor CPO termasuk migor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri. Meskipun dalam Peraturan Menteri Perdagangan tentang Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20 persen adalah tiket untuk melakukan ekspor namun kebijakan itu diabaikan oleh korporasi industri produsen CPO.
Korporasi jelas lebih mencari rente seoptimal mungkin daripada menjalankan peraturan Menteri Perdagangan. Sejumlah rapat koordinasi dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder korporasi produsen CPO, petani sawit, asosiasi. Namun korporasi tetap mengabaikan kebijakan DMO 20 persen, karena telah terikat kontrak penjualan keluar negeri. Inilah yang membuat pasokan migor dalam negeri menjadi seret dan langka sehingga menaikkan harga migor yang sulit dijangkau rakyat kecil.
Lantas kaitan dengan BPDPKS dimana? BPDPKS sebagai lembaga pemungut dana ekspor minyak
sawit mentah sejak 2015 berhasil menghimpun dana sebesar Rp139,7 triliun. Dana ini kemudian
akan digunakan untuk menyubsidi produksi migor dengan dalih menalangi HPP produksi minyak
goreng curah, kemasan dan kebutuhan lainnya.
Kepolisian dan KPK sepakat tidak boleh
menggunakan dana BPDPKS untuk subsidi produksi migor kemasan. Dua lembaga penegakan hukum ini lebih sepakat untuk menggunakan acuan penetapan HET Migor sebagaimana yang telah diterbitkan oleh kementerian perdagangan. Namun, Airlangga Hartarto sebagai Ketua Dewan Pengarah BPDPKS ngotot memakai dana BPDPKS untuk subsidi produksi migor kemasan ke sejumlah korporasi.
Dana BPDPKS yang luarbiasa besar ini yang kemudian menjadi persoalan dalam penyalurannya.
Mengapa hanya dibagikan ke 10 perusahaan produsen minyak sawit? Sehingga membuat
Airlangga beserta perusahaan yang ditunjuknya atas arahan dari tersangka LCW untuk disubsidi
jelas mengeruk keuntungan luarbiasa besar di balik kesengsaraan dan penderitaan akibat tingginya harga migor.
Lantas mengapa sampai saat ini Kejagung belum memeriksa Ketua Dewan Pengarah BPDPKS Airlangga Hartarto yang menjadi biang keladi kisruh migor?
Tuntutan Aksi :
1. Mengusut dan segera melakukan penyidikan dugaan kasus korupsi dana kelola
BPDPKS secara menyeluruh terutama pada lingkup regulasi lain yaitu agraria dan
program redistribusi dana sawit (Reinvestasi) untuk petani dan subsidi Biodiesel.
2. Menuntut Kejaksaan Agung RI untuk segera menuntaskan kasus Korupsi Ekspor
Minyak Goreng dan menangkap semua oknum yang terlibat secara independen dan
tanpa pandang bulu.
3. Menuntut Airlangga Hartarto sebagai Menko Perekonomian bertanggung jawab
atas kelangkaan dan mahalnya minyak goreng serta penyelewengan dana BPDPKS.
4. Menutut Presiden Joko Widodo untuk segera memecat setiap oknum birokrat
terutama Menteri yang membidangi komoditas kelapa sawit dari hulu hingga hilir
terutama bidang perekonomian.
Jakarta, 24 Mei 2022
*Koordinator Aksi*
FAIZUL HIDAYAT
+62 857-7267-3053
( red.)